Tanggal 13 September 2012 merupakan tonggak berdirinya single air navigation provider di Indonesia yang ditandai dengan terbitnya Peraturan Pemerintah nomor 77 Tahun 2012 tentang Perum Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia yang disingkat Perum LPPNPI. Mungkin bagi banyak orang hal ini merupakan suatu keniscayaan (pinjem istilahnya mas Dheny), namun bagi IATCA hal ini merupakan buah dari perjuangan yang panjang dan melelahkan. Berikut merupakan sekelumit kisah keterlibatan IATCA dibalik berdirinya Perum LPPNPI dari perspektif air traffic controller.
Pada tahun 1952 pemerintah membentuk Djawatan Penerbangan Sipil (DPS) yang hingga tahun 1962 melakukan kegiatan pelayanan navigasi penerbangan. Djawatan Penerbangan Sipil ini merupakan cikal bakal Direktorat Jenderal Perhubungan Udara saat ini. Pada tahun 1962 berdirilah Perusahaan Negara (PN) Angkasa Pura Kemayoran untuk mengelola Bandar Udara Kemayoran (kegiatannya termasuk pemberian pelayanan lalu lintas udara) sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 33 tahun 1962, meskipun beroperasi secara resmi tahun 1964. Pada tahun 1974 bentuk PN berubah menjadi Perusahaan Umum (Perum) dan menambah bandara (dan navigasi penerbangan) yang dikelola yaitu Halim Perdanakusuma.
Cikal bakal single ATS provider sebenarnya pernah dibentuk oleh Pemerintah pada tahun 1978 dengan terbitnya Keputusan Menteri Perhubungan nomor KM 50/OT/Phb-78, tentang Susunan organisasi dan tata kerja pelabuhan udara dan Sentra Operasi Keselamatan Penerbangan (SENOPEN), di 7 lokasi yaitu Medan, Pekanbaru, Palembang, Surabaya, Bali, Ujung Pandang dan Biak”. Senopen merupakan ATS Provider pertama yang secara resmi dibentuk oleh Pemerintah. Namun karena operasinya parsial, Senopen banyak menemui kendala operasional hingga manajerial. Secara bertahap operasi Senopen dikembalikan kembali ke pengelola bandara atau Kantor Wilayah (Kanwil) Perhubungan di tiap Daerah yang berujung pada terbitnya Keputusan Menteri Perhubungan nomor KM 19 tahun 1988, untuk mengalihkan Kegiatan Pelayanan Navigasi Penerbangan (oleh kantor SENOPEN) dari Ditjen Perhubungan Udara kepada PERUM ANGKASA PURA I dan II . Dengan demikian Keputusan Menteri Perhubungan nomor KM 50/OT/Phb-78, KM 43/OT.002/Phb-85 dan KM 77/OT.002/Phb-85 dinyatakan batal.
Pada tahun 1992 status badan usaha Angkasa Pura I dan II dari Perum diubah penetapannya oleh pemerintah menjadi Perseroan Terbatas sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 5 tahun 1992 dan PP nomor 14 tahun 1992. Sesuai dengan yang tertulis dalam Peraturan Pemerintah (PP) tersebut diatas, tugas pokok PT. (Persero) ANGKASA PURA I dan PT. (Persero) ANGKASA PURA II adalah : Penyediaan, pengusahaan dan pengembangan Bandar Udara serta Perencanaan, pembangunan dan pemeliharaan Bandar Udara, tanpa menyebutkan pengelolaan pelayanan navigasi penerbangan
Hingga saat itu isu single ATS provider telah bergulir dan semakin mengerucut pada akhir tahun 1999 dimana Direktorat Jenderal Perhubungan Udara mengundang pihak Angkasa Pura I dan II untuk hadir pada rapat pembahasan unifikasi pelayanan penerbangan. Wacana pembentukan single ATS provider berujung pada 3 skenario berikut:
- Penggabungan Manajemen PT. (Persero) Angkasa Pura I, PT. (Persero) Angkasa Pura II dan seluruh bandar udara UPT Kanwil Dephub.
- Mengubah pembagian tugas kewenangan PT. (Persero) Angkasa Pura I dan PT. (Persero) Angkasa Pura II dari kewilayahan menjadi operasional (pelayanan navigasi penerbangan dan penyelenggaraan ke bandar udaraan)
- Membentuk BUMN baru sebagai penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan
Wacana tersebut terus bergulir dan semakin menguat dengan adanya kajian atau pembuatan masterplan study on the strategic policy for air traffic transport in Indonesia oleh JICA (Japan International Cooperation Agency) sebagai counterpart Direktorat Jenderal Perhubungan Udara yang merekomendasikan pembentukan single ATS provider (creation of single ATS provider) pada bulan Juni 2005.
Pada bagian lain diwaktu yang bersamaan, lahirlah Indonesia Air Traffic Controller Association pada tanggal 29 Juli 1999 sebagai asosiasi profesi pemandu lalu lintas penerbangan Indonesia satu-satunya (baca sejarah IATCA disini). Sebagai organisasi profesi yang terkait langsung dengan pelayanan navigasi penerbangan, IATCA sungguh-sungguh mencermati perkembangan wacana single ATS provider. Saat itu anggota IATCA tersebar pada 3 provider penyelenggara navigasi penerbangan, seringkali pada rapat-rapat IATCA arah kebijakan organisasi harus diselaraskan terlebih dahulu dengan masing-masing background asal anggota IATCA.
Adalah mimpi bagi IATCA untuk bergabung di satu rumah yang mengayomi ATC Indonesia.
Pandangan IATCA mengenai single ATS provider diformalkan pada Rapat Pimpinan (Rapim) IATCA yang diadakan di Jakarta tanggal 5 – 6 Mei 2006 dimana salah satu hasilnya adalah 3 (tiga) sikap IATCA terhadap pembentukan Single ATS Provider berikut ini:
- Pada akhirnya disepakati bersama bahwa antara Provider dan Regulator harus dipisahkan. Dan hanya ada satu provider diluar militer.
- Kemudian disepakati bersama hal lain yang terpenting mendasari keinginan kita adalah suatu badan usaha yang dapat mengelola pengeluaran dan pendapatan secara utuh.
- Kesepakatan yang diputuskan selanjutnya adalah suatu badan usaha yang dapat meningkatkan level of service dan kesejahteraan organisasi.
Sejak saat itu pembahasan single ATS provider selalu menjadi tema utama pertemuan-pertemuan IATCA baik pada rapat kerja nasional (rakernas) tahunan , musyawarah nasional (Munas) atau pertemuan lain yang diadakan khusus untuk itu.
Klimaks pertama terjadi pada tahun 2009, dimana pada tahun itu terbitlah Undang-undang nomor 1 tentang Penerbangan yang menggantikan Undang-undang penerbangan tahun 1992. Secara khusus Undang-undang nomor 1 tahun 2009 mengatur tentang dibentuknya SATU lembaga penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan Indonesia.
Sejak saat itu berbagai proses persiapan pembentukan, kajian bentuk organisasi yang cocok, usulan organisasi, sistem remunerasi dan lain sebagainya terkait dengan single ATS provider semakin nyata. IATCA secara khusus membentuk tim SAP IATCA untuk mengkaji persiapan single ATS provider.
Bergerak diluar sistem, keterlibatan IATCA mendapatkan pro dan kontra. Seringkali tidak mendapat undangan pada beberapa rapat yang membahas single ATS provider, namun diberikan kursi perwakilan pada tim pengkajian single ATS provider yang dibentuk oleh Dirjenhubud, mulai dari Tim 100 hingga Tim 9.
Perbedaan pendapat soal bentuk kelembagaan single ATS provider inilah yang menjadi akar pro dan kontra keterlibatan IATCA. Dalam beberapa paparan, terdapat tiga alternatif kelembagaan single ATS provider:
- Unit Pelaksana Teknis (UPT) Direktorat Jenderal Perhubungan Udara yang khusus didirikan untuk hal tersebut bersifat Badan Layanan Umum.
- Badan Hukum Milik Negara, yang khusus didirikan untuk hal tersebut seperti Universitas (Perguruan Tinggi Negeri) saat ini.
- Badan Usaha Milik Negara, yang khusus didirikan untuk hal tersebut.
Untuk menentukan bentuk kelembagaan single ATS provider, IATCA melakukan rapat khusus dengan mengundang seluruh anggotanya dari setiap Dewan Pengurus Cabang pada tanggal 20 Oktober 2008 di Cimacan. Tim SAP IATCA mempresentasikan kajian plus minus pilihan kelembagaan single ATS provider, yang berujung pada penentuan sikap resmi IATCA yang merekomendasikan bentuk BUMN sebagai bentuk kelembagaan single ATS provider.
Salah satu puncak dukungan IATCA akan bentuk kelembagaan BUMN adalah digelarnya spanduk KAMI MENOLAK BLU di setiap tower dimana cabang IATCA berada. Gerakan ini dilakukan setelah sinyalemen mengarahnya bentuk kelembagaan single ATS provider menjadi BLU. Salah satu alasan kuat menolak BLU adalah bentuk BLU yang bersifat otonom pada setiap lokasi usaha yang berbeda dengan nafas bersatunya pengelolaan ATC dalam satu wadah. (Dan beberapa alasan detil lainnya yang kalo dapat izin publikasi dari IATCA bisa saya upload disini J)
Bentuk kelembagaan merupakan satu hal, namun yang tidak kalah penting adalah isi dari lembaga tersebut. Untuk itu IATCA membentuk Tim Task Force yang bertujuan memberikan masukan kepada Pemerintah mengenai Struktur Organisasi, Sistem Remunerasi dan Transisi Operasional. Sebagai Ketua Tim Task Force ditunjuk mas Suwandi dari DPC Makassar dengan Koordinator Struktur Organisasi mas Kristanto dari DPC Jakarta, Koordinator Sistem Remunerasi mas Nugroho Jati dari DPC Makassar dan Koordinator Transisi Operasional mas Zainuri (bang Jay) dari DPC Bali.
Bekerja secara marathon selama kurang lebih 7 bulan (karena disambi dinas), hasil Tim Task Force dipresentasikan dan dibahas pada Rapat Kerja Nasional. Setelah melalui uji materi serta pembahasan sengit di tiap komisi, akhirnya rakernas menyepakati tiga hal utama tersebut; Usulan Struktur Organisasi, Sistem Remunerasi dan Skema Transisi Operasional. Hasil rakernas kemudian disempurnakan dan dibukukan sebagai usulan IATCA untuk Single ATS Provider yang akan dibentuk.
Dengan bekal Kajian ini melalui forum resmi maupun informal, IATCA melakukan serangkaian pendekatan baik kepada Kementerian Perhubungan sebagai Kementerian Teknis, Kementerian BUMN, Kementerian Hukum & HAM, Menko Ekuin, Sekretariat Negara UKP4 hingga Kementerian Sosial untuk menyampaikan rekomendasi IATCA mengenai “isi” dari single ATS Provider yang akan dibentuk. Dengan modal ini, IATCA selalu dilibatkan dalam tim-tim yang dibentuk oleh Kementerian Perhubungan terkait dengan pembentukan single ATS provider, mulai dari Tim 100, Tim 75 hingga Tim 9.
IATCA juga menggelar kampanye unifikasi penyelenggara navigasi penerbangan dengan tagline One Sky One Provider serta memproduksi flyer, pin dan tali name tag bermotif kampanye One Sky One Provider. Melalui kampanye ini diharapkan baik masyarakat maupun anggota IATCA sendiri memahami pentingnya penyatuan penyelenggara navigasi penerbangan di Indonesia.
Usaha IATCA membuahkan hasil dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Tahun 2012 tentang Perum LPPNPI yang ditandatangani oleh Presiden Indonesia saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 13 September 2012. Bentuk Perusahaan Umum (Perum) sebagai BUMN merupakan perwujudan aspirasi IATCA akan kelembagaan single ATS provider yang diidam-idamkan.
Rumah bersama itu pun menjadi nyata dengan ditunjuknya Direksi dan Dewan Pengawas Perum LPPNPI oleh Menteri BUMN, sekaligus menandakan beroperasinya Perum LPPNPI secara resmi yaitu pada Tanggal 16 Januari 2013 Pukul 22.00 Waktu Indonesia Bagian Barat.
Author’s note: tulisan ini merupakan tulisan hidup, yang akan terus diperkaya maupun diperbaiki apabila diterima informasi yang lebih detil dan akurat
Discussion
No comments yet.